Mengapa UU Perlindungan Konsumen (UUPK) Dibutuhkan?
Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan; 2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.
Seperti Apa Isi Undang – Undang Perlindungan Konsumen ?
Isi dari UUPK selain asas dan tujuan serta hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum UUPK mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemusdian UUPK juga mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa konsumen dan ketentuan pidananya.
Definisi Konsumen dalam UUPK
Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Definsi Pelaku Usaha dalam UUPK
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.
Definisi Barang dalam UUPK
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Definisi Jasa dalam UUPK
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi, transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, arsitek, dll; 4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport, sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan Terbatas) maupun non-komersial (Yayasan); dan 2) badan hukum publik. UU Perlindungan Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan hukum komersial.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ruang lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen, pendidikan konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan pengujian, dan advokasi kebijakan.
Apa Saja Hak-Hak Konsumen?
1) Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
2) Hak Untuk Memilih
3) Hak Atas Informasi
4) Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
5) Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
6) Hak Untuk Mendapat Pendidikan
7) Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif
8) Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
9) Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya
1) Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif keyakinan/ajaran agama tertentu.
2) Hak Untuk Memilih
Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
3) Hak Atas Informasi
Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.
4) Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
5) Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial.
Hak ini dapat dipenuhi dengan cara :
1. Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen;
2. Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action);
3. Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota / kabupaten.
6) Hak Untuk Mendapat Pendidikan
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha.
7) Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif
Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.
8) Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut.
Bentuk ganti rugi dapat berupa :
1) pengembalian uang;
2) penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; 3) perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
9) Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.
Potret Pelanggaran Hak-hak Konsumen
Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan hal yang jamak, masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan dan kecelakaan yang menempatkan konsumen sebagai korban. Beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, tidak maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum.
Pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa pelanggaran bersifat substantif maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen atau berbagai UU sektoral.
Konsumen Perumahan
Ada dua kelompok pengaduan konsumen perumahan, yaitu:
1. sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak-hak individu konsumen perumahan. Seperti, mutu bangunan di bawah standar, ukuran luas tanah tidak sesuai, dll;
2. sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan. Seperti, tidak dibangunnya fasilitas sosial / umum, sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim / informasi dalam iklan / brosur dan pameran perumahan.
Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum)
Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diiklankan dalam sumber informasi bagi konsumen, yaitu iklan, brosur perumahan dan pameran perumahan terkadang tidak didapat sebagaimana mestinya, banyak fasilitas yang diperjanjikan dalam brosur pada akhirnya hanya menjadi promosi semata dari pengembang. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap konsumen perumahan yang dilakukan oleh pengembang (jika menjadi penangggung jawab membangun fasilitas umum) maupun oleh Pemda setempat (jika informasi tersebut bersumber pada dokumen resmi yang dikeluarkan Pemda).
Menghadapi persoalan diatas dibutuhkan dua kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan konsumen perumahan.
1. kebijakan yang bersifat komplementer. Artinya, kebijakan yang berisi ketentuan hukum yang memungkinkan konsumen mendapatkan informasi tentang fasilitas umum yang harus disediakan pengembang;
2. kebijakan yang bersifat kompensatoris. Artinya, terhadap praktik-praktik pemasaran dan pembangunan perumahan yang menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pengembang.
Penjualan Rumah Fiktif
Korban kasus penjualan rumah fiktif biasanya adalah golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah yang umumnya kelompok masyarakat menengah ke bawah. Ada dua instrumen hukum yang dapat dilakukan calon konsumen yang menjadi korban kasus perumahan fiktif untuk menuntut pengembalian uang yang telah disetorkan kepada pengembang :
a) seperti diatur dalam Pasal 98 KUHP :
Jika seuatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Artinya, kerugian bagi orang lain yang dimaksud pasal itu termasuk pula kerugian pihak korban. Dan penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana yang dimaksud adalah agar perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa sekaligus;
b) berdasarkan putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, para korban secara terpisah dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut ganti rugi dengan tuntutan pengembang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun untuk proses yang lebih efektif beracara dalam advokasi konsumen kasus rumah fiktif adalah dengan menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action).
Konsumen jasa ketenagalistrikan
Dua ketidakadilan dalam penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia:
1. dalam bentuk, baru ada sekitar 54 persen masyarakat Indonesia yang dapat mengakses listrik;
2. masyarakat yang sudah mendapatkan aliran listrik, sebagai konsumen hak-hanya masih sering terabaikan karena seringnya pemadaman, voltase turun-naik, dan akurasi pencatatan meter.
Pencatatan Meter
Permasalahan pencatatan meter mendominasi kasus yang dialami konsumen. Biasanya kesalahan petugas dari PLN ternyata dibebankan kepada konsumen, dalam bentuk :
1. konsumen membayar tidak sesuai dengan pamakaian;
2. beban tagihan menjadi menumpuk, sehingga memberatkan konsumen.
Pemadaman tanpa pemberitahuan
Kerugian konsumen akibat pemadaman, dalam bentuk :
1. biaya, karena akibat pemadaman konsumen harus mengeluarkan biaya ekstra, seperti beli lilin, dll;
2. hilangya potensi pendapatan, seperti usaha photo kopy misalnya, karena pemadaman, usahanya terhambat;
3. kerusakan alat-alat elektronik, atau usia alat-alat elektronik menjadi tidak tahan lama.
Pemadaman yang terjadi karena sebab yang masih dalam kendali PLN, mestinya ada kompensasi financial bagi konsumen.
Voltase tidak stabil
Voltase tidak stabil adalah bentuk pelanggaran hak-hak konsumen, khususnya hak atas keamanan dan keselamatan dan hak konsumen untuk mendapatkan barang dan atau jasa yang sesui dengan standar sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha. Contoh: masyarakat mendapatkan tenaga listrik jauh di bawah atau di atas yang sudah diumumkan PLN.
Penerangan Jalan Umum
Pajak Penerangan Jalan Umum dibebani pada konsumen PLN, namun dalam kenyataannya tidak semua konsumen PLN menikmati dari pajak yang telah mereka bayar. Keluarnya Keppres No. 89 tahun 2002 tentang Harga Jual Tenaga Listrik tahun 2003, ada keharusan dari PT PLN untuk mendeklare Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) di masing masing cabang untuk penerangan jalan, meliputi :
1) frekuensi pemadaman per 3 bulan;
2) lama pemadaman per 3 bulan; dan
3) akurasi pencatatan meter. Jika dalam realisasi, PLN tidak dapat memenuhi TMP yang dideklare, PT PLN harus membayar denda/penalty kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban. Namun, dalam praktik tidak banyak cabang PLN yang mensosialisasikan TMP kepada konsumen.
Konsumen jasa Perbankan
Dalam praktik merebut nasabah cara yang dilakukan bank tidak diimbangi dengan memberikan informasi yang utuh tentang produk jasa perbankan tersebut, sehingga muncul berbagai keluhan konsumen jasa perbankan.
Produk ATM
Ada empat persoalan dari Produk ATM (Automated Teller Machine), yaitu:
1. keberanan iklan ATM, ketika mau menggunakan ATM dalam keadaan tidak berfungsi dan tidak ada penjelasan dari bank;
2. perjanjian standar dalam aplikasi permohonan ATM yang berat sebelah;
3. informasi tentang produk ATM sangat minim. Beberapa pemegang ATM mengeluh, uang yang ditelan boks ATM, namun saldo rekening konsumen tetap di-debet;
4. soal mekanisme penyelesian komplain pemegang ATM. Konsumen tidak merasa menarik tunai melalui ATM, tetapi didapati saldo rekening konsumen berkurang. Dalam kasus seperti ini, posisi konsumen sangat lemah, karena secara teknis konsumen tidak mungkin meng-counter pembuktian yang disodorkan pihak bank penerbit ATM.
Produk Kartu kredit
Persoalan yang sering dikeluhkan konsumen kartu kredit antara lain : 1) Iklan. Ikaln yang gencar dilakukan umumnya berkesan menyenagkan konsumen. Padahal, tersembunyi maksud untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari kantung konsumen; Kedua, perjanjian standar yang isinya berat sebelah. Setiap pemohon kartu kredit, terlebih dahulu harus mengisi aplikasi permohonan kartu kredit yang dibuat dalam bentuk standar, pemohon tidak ada alternatif lain, selain setuju dengan persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh bank; 3) besaran dan cara menghitung bunga/penalty. Tidak banyak konsumen kartu kredit yang tahu atau peduli, bagaimana bank mengenakan biaya terhadap konsumen, sehingga sangat sulit untuk konsumen ikut mengoreksi jika terjadi kekeliruan dalam penagihan.
Konsumen produk Obat-obatan
Beragam persoalan yang dihadapi konsumen produk obat-obatan di Indonesia: Dari persoalan makro menyangkut peran pemerintah dalam pengadaan obat murah, persoalan hak kekayaan intelektual obat-obat paten yang membuat harga obat melambung, soal tata niaga produk obat yang syarat dengan kartel, keberadaan obat palsu, penggunaan obat yang tidak rasional, sampai soal belum optimalnya apoteker, khususnya dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.
Konsumsi obat yang tidak rasional
Temuan Purnawati S. Pujiarto (konsultan kesehatan WHO Indonesia), terbukti bahwa 69,6 % anak-anak yang sakit di Indonesia, diberikan lebih dari 4 macam jenis obat, sementara 35,3 % anak-anak yang sakit mendapat lima macam obat. Padahal rata-rata penyakit anak tersebut, bisa sembuh tanpa harus ke dokter. Ini menjadi bukti tidak rasionalnya konsumsi obat yang diberikan oleh dokter. Ada dua potensi pelanggaran hak-hak konsumen dari konsumsi obat yang tidak rasional, yaitu pelanggaran hak atas informasi dan hak atas keamanan.
Maraknya obat palsu
Data WHO menyebutkan, peredaran obat palsu di negara berkembang, termasuk Indonesia, mencapai 20 % – 40 %. Praktik peredaran obat palsu terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah dan juga karena rendahnya daya beli masyarakat.
Tidak optimalnya peran apoteker
Apotik berbeda dengan toko obat, jika pasien menebus obat di apotik, pasien mendapatkan dua bentuk produk, yaitu obat tersebut dan informasinya. Namun selama ini, tidak banyak konsumen yang memperolah informasi obat ketika menebus obat di apotek, karena tidak ada apoteker ketika menebus obat. Hal ini merugikan konsumen, karena selain tidak mendapat informasi obat dari personil yang kompeten, juga tidak dapat berkonsultasi menyangkut obat yang akan dikonsumsi, baik manfaat obat maupun resikonya.
Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
Ada dua kategori pelayanan kesehatan :
1) pelayanan kesehatan tingkat dasar, hal ini menjadi tanggung jawab Pemerintah; 2) pelayanan kesehatan lanjutan, disedikan pemerintah juga disediakan rumah sakit swasta.
Beberapa kategori pengaduan pelayanan kesehatan: Pertama, persoalan non-medik (mahalnya biaya rawat inap, soal keamanan di rumah sakit); Kedua, persoalan medik (baik yang dilakukan oleh dokter, maupun oleh profesi penunjang, seperti perawat, bidan).
Malpraktik profesi dokter
Malparktik profesi dokter, yaitu penyimpangan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya, dari standar profesi yang ada yang menimbulkan kerugian di pihak pasien.
Hak-Hak Konsumen – Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional
Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran terkadang berlebihan karena sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien, melainkan usaha rumah sakit untuk menutupi beban biaya investasi pengadaan barang tersebut, jadi pasien menjadi obyek pendapatan semata. Selain itu juga minimnya info yang diberikan tentang alat ersebut kepada pasien makin merugikan pasien.
Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional
Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran terkadang berlebihan karena sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien, melainkan usaha rumah sakit untuk menutupi beban biaya investasi pengadaan barang tersebut, jadi pasien menjadi obyek pendapatan semata. Selain itu juga minimnya info yang diberikan tentang alat ersebut kepada pasien makin merugikan pasien.
Dokter yang merangkap sebagai ”pedagang”
Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan, karena harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi membengkak.
Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan, karena harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi membengkak.
Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk melakukan tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, terlebih dahulu harus jelas hasil (outcame) apa yang diharpakan konsumen dari tindakan tersebut.
a) Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri
b) Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
c) Menulis surat pembaca di media cetak
d) Membuat pengaduan ke LPKSM
e) Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian
f) Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
g) Mengajukan gugatan secara perorangan
h) Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class Action)
i) Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing
j) Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
k) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional
l) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia
m) Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
a) Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan: 1) fungsi penanganan pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau 2) assosiasi yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen, seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
b) Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari burukya komunikasi, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi, dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, pada umunya dapat diselesaikan tanpa perlu ada bantuan / intervensi pihak ketiga.
c) Menulis surat pembaca di media cetak
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain agar mengetahui info barang tersebut.
d) Membuat pengaduan ke LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.
e) Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan / pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.
f) Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan terbuka.
g) Mengajukan gugatan secara perorangan
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu penyelesaian.
h) Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class Action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak konsumen secara massal
i) Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu :
1) Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang
2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen; dan
3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
j) Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah, didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK) melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari unsur :
1) Pemerintah;
2) Lembaga konsumen; dan
3) Pelaku usaha (Pasal 49 Ayat (3) UUPK).
o tugas dan wewenang BPSK, meliputi:
1) penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi/arbitrase/konsiliasi;
2) konsultasi perlindungan konsumen;
3) pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK;
5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen;
6) meneliti dan memeriksa sengketa perlindungan konsumen;
7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran;
8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;
9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana
k) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.
l) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia
Terkait iklan di bidang perumahan, seperti klaim iklan berlebihan, penggunaan figur anak-anak dalam iklan perumahan, konsumen atau lembaga konsumen dapat mengutarakan keluhannya ke Komisi Periklanan Indonesia, yaitu lembaga “independen” yang dibentuk komunitas pengusaha periklanan yang tergabung dalam PPPI yang secara fungsional menampung keluhan atau pengaduan masyarakat terhadap visualisasi tayangan iklan. Namun, lembaga ini belum efektif disebabkan: 1) Independensi komisi ini diragukan; 2) Tidak semua pengusaha periklanan tergabung dalam PPPI;
m) Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat, sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.
Dasar hukum pengaduan konsumen
v Perbuatan Melawan Hukum (Onrecchmatige Daad)
Perbuatan melawan hukum yang diatur pasal 1365 KUHPerdata selalu dijadikan pijakan dalam gugatan perdata. Isinya adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dapat dipahami baik dalam arti sempit (terbatas kepada pelanggaran undang-undang), maupun dalam arti luas (meliputi pelanggaran terhadap undang-undang dan perbuatan manusia yang melanggar hak-hak orang lain). Empat unsur yang harus dipenuhi dalam konstruksi hukum perbuatan melawan hukum: 1) Adanya perbuatan melanggar hukum; 2) Menimbulkan kerugian; 3) Adanya unsur kesalahan, dan 4) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan hukum dan kerugian yang timbul.
v Wansprestasi/Cidera
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wansprestasi dapat berupa :
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wansprestasi dapat berupa :
1) Tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan;
2) Melaksanakan yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
3) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan
4) Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Persoalan di lapangan adalah pengertian perjanjian dalam wanprestasi terbatas pada perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak. Tidak termsuk korespondensi, brosur, leaflet yang kadang juga berisi janji-janji pelaku usaha kepada konsumen.
SUMBER : http://www.lbh-makassar.org/?p=1654
0 komentar:
Posting Komentar